Minggu, 18 Mei 2008

Evidence Based Medicine pada aspek diagnosis

Evidence Based Medicine (EBM) terhadap aspek diagnosis
Diagnosa dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang menggunakan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan penunjang serta tes lain untuk mengidentifikasi penyakit pada pasien.
Ada beberapa cara yang digunakan oleh seorang dokter dalam mendiagnosis pasien:

Algorithmic: cara diagnosis ini layak untuk suatu penyakit tertentu. Sebagai contoh,suatu pendekatan dengan algorithmic, sangat berguna untuk suatu keadaan dimana informasi pasien (misalnya hasil laboratorium) adalah akurat seperti anemia atau penyakit lever
Pattern recognition: cara ini biasanya digunakan oleh seorang dokter pada pengamatan pertama, untuk mendiagnosa kondisi umum pasien seperti radang saluran kencing ataupun sinusitis.
Exhaustive: cara diagnosis ini digunakan untuk penyakit yang telah gagal didiagnosis dengan cara lain. Hal ini biasanya dilakukan pada rumah sakit rujukan yang menerima pasien rujukan, yang belum ditentukan diagnosisnya. Karena itu dikumpulkan semua data yang memungkinkan dari pasien tersebut tersebut untuk membuat diagnosis.
Hypotheticodeductive: cara mendiagnosis jenis ini yaitu dengan membuat diferensial diagnosis, melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara terus menerus dan hasilnya digunakan untuk memperbaiki perbedaan diagnosis dan demikian seterusnya, sehingga diperoleh diagnosis akhir.

Untuk setiap cara mendiagnosis diatas, yang penting adalah menggunakan
informasi yang akurat yang dikumpulkan dari pasien. Hal ini berarti harus mencari sebanyak-banyaknya gejala, tanda-tanda, atau hasil-hasil tes yang dikumpulkan dari pasien tersebut. Ini dimaksudkan untuk mencari atau menentukan kemungkinan terdapatnya penyakit pada pasien tersebut (likelihood of a given disease). Proses inilah yang disebut dengan revising the probability of disease.

Menilai Relevansi dan Validitas Makalah Diagnosis
Sebagai contoh, scaning memberikan informasi yang akurat tentang penyakit dari organ-organ tubuh manusia, tetapi tidak praktis untuk dipakai pada komunitas. Biopsi otak juga akurat untuk mendiagnosis enchepalitis, tetapi tidak praktis bila diterapkan pada pasien kita karena memilikki resiko yang tinggi. Jadi tes diagnosis merupakan suatu tes yang feasible untuk diterapkan pada pasien kita.
Bila tes diagnosis diterapkan pada pasien dengan sakit yang berat dan pasien sehat, maka hal ini akan membuat penampilan tes diagnosis tersebut jauh lebih baik dari yang sebenarnya. Oleh karena itu pada penelitian tentang tes diagnosis, tes diagnosis tersebut harus dikerjakan pada pasien yang memilikki spektrum gejala dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Dalam penelitian tersebut juga dimasukkan pasien-pasien yang memilikki gejala yang mirip (similar manifestation).
Sebagai contoh pada diagnosis infark miokard, harus juga dimasukkan pasien yang memilikki gejala seperti spasme kerongkongan, nyeri karena penyakit kandung empedu dan sebagainya.
Apakah penulis menggunakan standar referensi yang masuk akal ? Contoh lain, misalnya pada penelitian diagnosis faringitis yang disebabkan oleh kuman streptokokus, dengan menggunakan titer anti streptolisin O (titer ASO)., hal ini mungkin ideal digunakan sebagai standar referensi. Selain itu juga kultur dan biopsi yang dilakukan pada pasien yang memiliki hasil tes diagnosis negatif merupakan satu-satunya tujuan yang dianggap tidak etis karena invasif. Tes diagnosis dan tes referensi sebagai pembanding harus dikerjakan pada satu orang dan harus blind.
Diagnosis bukan suatu cara untuk mendapatkan kebenaran absolut, tetapi berfungsi membatasi ketidaktahuan, menetapkan dasar-dasar logis untuk membuat probabilitas dan memahami batasan tes terapi (treatment tresholds test).
Untuk menilai aspek diagnosis dengan menggunakan EBM dapat diikuti petunjuk sebagai berikut :
Apakah Bukti Mengenai Tes Diagnosis Ini Adalah Valid ?

Apakah dilakukan suatu pembanding yang independen dan blind dengan standar referensi diagnosis ?
Apakah tes diagnosis ini dievaluasi pada spektrum pasien yang tepat (seperti pada pasien yang biasanya kita ukur dengan tes tersebut ?
Apakah standar referensi diaplikasikan terlepas dari hasil tes diagnosis ?
Apakah tes (atau kelompok tes) divalidasi dalam kelompok pasien yang kedua yang independen ?
Menurut EBM untuk mencapai kata kesepakatan dalam menginterpretasikan suatu
hasil tes diagnosis, para dokter harus mempunyai derajat kesepakatan (degree of agrement) dan dalam hal lain, kita sulit membedakan apakah sesuatu itu normal atau tidak. Dalam EBM ada 6 definisi normal seperti :

Gaussian: mean ± 2 standar deviasi- ini adalah asumsi distribusi normal dari seluruh tes
Percentile: di dalam rentang 5-95% ; mempunyai dasar yang sama dengan pengertian Gaussian
Kultur yang diinginkan: jika normal adalah yang cenderung dilakukan oleh masyarakat.
Faktor resiko: menyebabkan tidak adanya tambahan resiko penyakit, tetapi apakah faktor resiko dapat merubah resiko ?
Diagnosis: rentang suatu hasil dimana diluar rentang tersebut kelainan target yang diinginkan memiliki probabilitas yang tinggi
Terapi: rentang hasil dimana diluar rentang tersebut terapi lebih baik daripada aspek merugikan

Bila kita melakukan beberapa kali tes diagnosis pada subyek akan terjadi sesuatu hasil yang menyimpang yang membawa kepada ketidaklayakan hasil tes selanjutnya. Dalam tes diagnosis, disebut normal apabila terdapat nilai rentang suatu hasil dan hasil diluar rentang tersebut merupakan kelainan target (target disorder) mempunyai probabilitas tinggi.
Sumber;
Kajian Kritis Makalah Ilmiah Kedokteran Klinik Menurut Kedokteran Berbasis Bukti. Oleh DR. Dr. Hananto Wiryo,SpA. Penerbit Sagung Seto-2002., hal 17-20.

Tidak ada komentar: