Sabtu, 24 Oktober 2009

Agama sebagai Modalitas Terapi

Agama membuat manusia hidup bermakna, bertujuan dan mempunyai panduan. Dengan agama, orang akan berpikir positif, mempunyai kendali dan harga diri, serta mempunyai metode pemecahan masalah spesifik yang memperbaiki daya tahan mental. Individu dengan komitmen agama yang tinggi terlibat langsung dengan masyarakat luas, sehingga didukung dan diterima. Skor religius terbukti menjadi indicator hubungan baik dan harmoni antar keluarga. Kegiatan ibadah dan Tomography-Radio ligan (PET) membuktikan kepadatan reseptor 5HT1A social bersama serta berulang kali membangkitkan rasa kebersamaan dan solidaritas. Pencitraan otak dengan Positron Emision yang rendah ditemukan pada orang dengan komitmen agama tinggi yang tenang. Seorang penganut agama yang taat,cenderung bermoral terpuji,berakhlak yang baik,taat pada norma social dan mendapat dukungan masyarakat.

Secara biologis,tutur kata yang halus dan baik seperti ketika berdoa,mampu mengubah partikel air menjadi kristal heksagonal yang bukan saja indah,tetapi juga sehat. Dia bukti hubungan potensi internal manusia dengan kondisi eksternal alam semesta. Penelitian psikoneuro-imunologik menunjukkan korelasi positif langsung antara aktivitas ibadah dengan kesehatan jiwa. Kadar CD-4(Limfosit T helper) yang tinggi merefleksikan daya tahan imunologi yang tinggi ditemukan pada orang dengan skor religiusitas yang tinggi. Sholat tahajud rutin selama delapan minggu mampu meningkatkan kadar limfosit dan immunoglobulin serta meningkatkan kekebalan tubuh. Puasa Ramadhan pada dua minggu pertama meningkatkan kadar kortisol firasat stress. Namun, puasa pada dua minggu terakhir meningkatkan respons kekebalan imunologik. Mendengarkan ayat-ayat Al-Quran dapat menurunkan intensitas tegangan otot.

Religiusitas berkorelasi negatif dengan skor depresi. Pasien transplantasi jantung yang taat beribadah jauh lebih mampu bertahan hidup daripada yang tidak beribadah. Komitmen agama terbukti juga menurunkan kadar C Reaktive Protein (CRP) yang bersama IL-6 mencegah serangan jantung koroner. Peningkatan pemahaman beragama dan doa mampu menekan intensitas depresi. Skor anxietas yang lebih rendah ditemukan pada pasien yang mendapat ceramah agama dan bimbingan doa. Komitmen agama berkorelasi negatif dengan bunuh diri sehingga terapi religi digunakan untuk menekan perilaku bunuh diri.

Komitmen agama secara klinis berperan sebagai sarana promotif,preventif,kuratif dan rehabilitatif gejala depresi,ansietas,penyalahgunaan obat,serta perilaku antisosial.

Dominasi tokoh-tokoh kedokteran jiwa yang atheis dan terapi religi dilakukan oleh orang yang tidak paham agama dalam terapi psikiatri terpuruk pada jalan setapak yang diperolok-olokan. Sudah saatnya kita menaruh minat dan belajar lebih banyak lagi tentang terapi religi,yang secara empiris memperlihatkan hasil nyata dan menakjubkan.

Sumber: Pidato Pengukuhan Mohammad Fanani, Guru Besar FK UNS dalam Majalah MEDIKA No. 11 Tahun XXXIV,November 2008.

Minggu, 11 Oktober 2009

Apa itu Penyakit GERD ? Meet the Expert

Trend prevalensi GERD di Asia meningkat. Di Hongkong meningkat dari 29,8% (2002) menjadi 35% (2003). Data dari RSCM menunjukkan peningkatan signifikan dari 6% menjadi 26% dalam kurun waktu 5 tahun. Salah satu kendala dalam GERD adalah sulitnya diagnosa, terutama dalam mendeskripsikan gejala khasnya yaitu heartburn, berupa rasa panas terbakar yang menjalar dari lambung atau dada bagian bawah menuju ke leher. Hal ini membuat lebih dari 50% pasien GERD berkonsultasi ke dokter setelah mengalami gejala selama 6 bulan. Asian Burning Desire Survey (2006) membuktikan bahwa pemahaman tentang GERD pada populasi di Indonesia adalah yang terendah di Asia Pasifik, hanya sekitar 1%, sedangkan di Taiwan mencapai 81% dan Hongkong 66%.
(Prof. Dr.HA,Aziz Rani,SpPD,KGEH)

GERD memiliki gejala khas yang mengganggu yaitu heartburn, regurgitasi,nyeri ulu hati, dan nyeri dada. Selain itu, terdapat gejala ekstraesofageal (batuk kronik, suara serak). Komplikasi GERD berbanding lurus dengan episode terjadinya refluks, umumnya berupa esofagitis dan yang paling parah adenokarsinoma. Bagi pasien, gejala GERD mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan seperti tidur, bekerja, aktivitas, olahraga, dll. Kini telah banyak dikembangkan kuesioner untuk mengenali GERD berdasarkan gejala. GERD Questionnaire (GERDQ) merupakan alat penilaian, yang dikembangkan untuk dokter dalam membantu mengidentifikasi dan penatalaksanaan pasien GERD. GERDQ berfungsi dalam melakukan diagnosa berdasarkan gejala,menilai dampak GERD pada pasien dan memonitor respon terapi yang telah dilakukan. Kuesioner ini telah divalidasi secara global melalui Diamond Study dan memilikki sensitifitas dan spesifitas > 70%. (Dr. Marcellus Simadibrata,PhD,SpPD,KGEH)

Penatalaksanaan GERD dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu modifikasi gaya hidup dan terapi farmakologis. Modifikasi gaya hidup dilakukan dengan menghindari makanan yang menyebabkan refluks seperti kopi, alkohol, coklat dan makanan berlemak, serta melakukan aktivitas yang dapat menurunkan risiko terpaparnya asam pada esopagus seperti menurunkan berat badan, berhenti merokok dan meninggikan kepala saat tidur. Terapi farmakologis membuktikan, obat golongan proton pump inhibitor (PPI) lebih efektif dibandingkan H2RA. Kunci tata laksana GERD adalah meningkatkan pH lambung diatas 4, karena pada saat tersebut aktivitas pepsin sebagai faktor agresif menurun.
Berdasarkan penelitian Miner tahun 2006, PPI memilikki kemampuan yang berbeda dalam mempertahankan pH diatas 4 (esomeprazole 15,3 jam; rabeprazole 13,3 jam; omeprazole 12,9 jam; lansoprazole 12,7 jam dan pantoprazole 11,2 jam). Lama pengontrolan pH asam lambung diatas 4, berbanding lurus dengan tingkat kesembuhan pasien dari gejala GERD. Tingkat kekambuhan pasien setelah terapi 4-8 minggu, juga dipengaruhi oleh lama pengontrolan pH asam lambung diatas 4. Semakin lama pengontrolan pH diatas 4, maka tingkat kekambuhan gejala GERD akan menurun.
(Dr. FX. Soemanto P,SpPD,KGEH)

Sumber: Ethical Digest No 62 Thn vii April 2009

Minggu, 18 Januari 2009

THE ECONOMIC BENEFITS OF BETTER HEALTH

The dramatic health improvements globally during the 20th century arguably contributed as much or more to improvements in overall well-being as did the equally dramatic innovation
in and expansion of the availability of material goods and services. To the substantial extent that appropriate investments in health can contribute to continued reductions in morbidity
and mortality, the economic welfare returns to health investments are likely to be exceptional and positive—with previously unrecognized implications for public sector resource
allocation. These returns go far beyond the contribution better health makes to per capita income, which itself appears substantial (see Bloom, Canning, and Jamison 2004; Lopez-
Casasnovas, Rivera, and Currais 2005). This section first summarizes the evidence concerning health’s effect on per capita income and then turns to more recent literature concerning the effect of health changes on a broader measure of economic well-being than per capita gross domestic product (GDP).
Health and Income
How does health influence GDP per person? Healthy workers are more productive than workers who are similar but not healthy. Supporting evidence for this plausible observation comes fromstudies that link investments in health and nutrition of the young to adult wages (Strauss and Thomas 1998). Better health also raises per capita income through a number of other channels. One involves altering decisions about expenditures and savings over the life cycle. The idea of planning for retirement occurs only when mortality rates become low enough for
retirement to be a realistic prospect. Rising longevity in developing countries has opened a new incentive for the current generation to save—an incentive that can dramatically affect
national saving rates. Although this saving boom lasts for only one generation and is offset by the needs of the elderly after population aging occurs, it can substantially boost investment
and economic growth rates while it lasts.
Encouraging foreign direct investment is another channel: investors shun environments in which the labor force suffers a heavy disease burden. Endemic diseases can also deny humans
access to land or other natural resources, as occurred in much of West Africa before the successful control of river blindness.
Boosting education is yet another channel. Healthier children attend school and learn more while they are there. A longer life span increases the returns on investment in education.
If better health improves the productive potential of individuals, good health should accompany higher levels of national income in the long run.Countries that have high levels of health but low levels of income tend to experience relatively faster economic growth as their income adjusts. How big an overall contribution does better health make to economic
growth? Evidence from cross-country growth regressions suggests the contribution is consistently substantial. Indeed, the initial health of a population has been identified as one of the
most robust and potent drivers of economic growth—among such well-established influences as the initial level of income per capita, geographic location, institutional environment, economic policy, initial level of education, and investments in education. Bloom, Canning, and Sevilla (2004) found that one extra year of life expectancy raises GDP per person by about 4 percent in the long run. Jamison, Lau, and Wang (2005) estimated that reductions in adult mortality explain 10 to
15 percent of the economic growth that occurred from 1960 to 1990. Not all countries benefit equally from this link. Bhargava and others (2001) found that better health matters more for income growth in low-income countries than in high-income ones. Although attribution of causality is never unequivocal in analyses like these, different types of evidence point consistently to a likely causal effect of health on growth.
Health declines can precipitate downward spirals, setting off impoverishment and further ill health. For example, the effect of HIV/AIDS on per capita GDP could prove devastating in the
long run. An enormous waste of human capital occurs as prime-age workers die. A high-mortality environment deters the next generation from investing in education and creating
human capital. The creation of a generation of orphans means that children may be forced to work to survive and may not get the education they need. High rates of mortality may reduce
investment. Saving rates are likely to fall, and retirement becomes less likely. A foreign company is less likely to invest in a country with a high HIV prevalence rate because of the threat
to the firm’s own workers, the prospect of high labor turnover, and the loss of workers who have gained specific skills by working for the firm. The International Monetary Fund recently published a collection of important studies of the multiple mechanisms through which a major AIDS epidemic can be expected to affect national economies (Haacker 2004).

Source: Jamison,DT, Breman,JG et al. Investing in Health. In Disease Control Priorities in Developing Countries SECOND EDITION. Oxford University Press,2006.