Tampilkan postingan dengan label Endokrinologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Endokrinologi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 Desember 2008

Terapi Insulin untuk Pasien DM Rawat Jalan

Terapi Insulin untuk Pasien DM Rawat Jalan

A. Indikasi terapi insulin untuk pasien DM rawat jalan

Masih terdapatnya beberapa kendala penggunaan insulin oleh dokter umum,sering
menyebabkan keterlambatan kendali glukosa darah yang baik bagi pasien diabetes melitus. Pasien DM Tipe 2 (DMT2) yang memiliki kontrol glukosa darah yang tidak baik dengan penggunaan obat antidiabetik oral perlu dipertimbangkan untuk penambahan insulin sebagai terapi kombinasi dengan obat oral atau insulin tunggal.
Insulin yang diberikan lebih dini dan lebih agresif menunjukkan hasil klinis yang lebih baik terutama berkaitan dengan masalah glukotoksisitas.Hal tersebut diperlihatkan oleh perbaikan fungsi sel beta pankreas. Insulin juga memiliki efek lain yang menguntungkan dalam kaitannya dengan komplikasi DM. Terapi insulin dapat mencegah kerusakan endotel,menekan proses inflamasi, mengurangi kejadian apoptosis,dan memperbaiki profil lipid. Dengan demikian,secara ringkas dapat dikatakan bahwa luaran klinis pasien yang diberikan terapi insulin akan lebih baik. Insulin, terutama insulin analog, merupakan jenis yang baik karena memiliki profil sekresi yang sangat mendekati pola sekresi insulin normal atau fisiologis.
Pada awalnya,terapi insulin hanya ditujukan bagi pasien diabetes melitus tipe 1 (DMT1), namun demikian pada kenyataannya, insulin lebih banyak digunakan oleh pasien DMT2 karena prevalensi DMT2 jauh lebih banyak dibandingkan DMT1.
Terapi insulin pada DMT2 dapat dimulai antara lain untuk pasien dengan kegagalan terapi oral,kendali kadar glukosa darah yang buruk (A1c > 7,5 % atau kadar glukosa darah puasa > 250 mg/dl), riwayat pankreatektomi atau disfungsi pankreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa darah yang lebar, riwayat ketoasidosis, riwayat penggunaan insulin lebih dari 5 tahun dan penyandang DM lebih dari 10 tahun.

B. Memulai dan alur pemberian insulin

Pada pasien DMT1, pemberian insulin yang dianjurkan adalah injeksi harian multipel dengan tujuan mencapai kendali kadar glukosa darah yang baik. Selain itu, pemberian dapat juga dilakukan dengan menggunakan pompa insulin (continous subcutaneous insulin infusion, CSII).
Setiap pusat pelayanan memiliki alur terapi diabetes dan mula awal terapi insulin yang berbeda untuk para pasien DMT2. Alur yang dibuat oleh kesepakatan antara American Diabetes Association (ADA) dan European Association for the Study of Diabetes (EASD) yang dipublikasikan pada bulan Agustus 2006 dapat dipakai sebagai salah satu acuan.
Ada beberapa cara untuk memulai dan menyesuaikan dosis terapi insulin untuk pasien DMT2. Salah satu cara yang paling mutakhir dan dapat dipakai sebagai acuan adalah hasil Konsensus PERKENI 2006 dan Konsensus ADA-EASD tahun 2006. Sebagai pegangan, jika kadar glucosa darah tidak terkontrol dengan baik (A1C>7,5%) dalam jangka waktu 3 bulan dengan 2 obat oral, maka sudah ada indikasi untuk memulai terapi kombinasi obat antidiabetik oral dan insulin.
Pada keadaan tertentu dimana kendali glikemik Amat buruk dan disertai kondisi katabolisme, seperti kadar glucosa darah puasa > 250 mg/dl,kadar glucosa darah acak menetap > 300 mg/dl, A1C > 10 %, atau ditemukan ketonuria,maka terapi insulin dapat mulai diberikan bersamaan dengan intervensi pola hidup. Selain itu,terapi insulin juga dapat langsung diberikan pada pasien DM yang memiliki gejala nyata (poliuri,polifagia dan penurunan berat badan). Kondisi-kondisi tersebut sering ditemukan pada pasien DMT1 atau DMT2 dengan defisiensi insulin yang berat. Apabila gejala hilang, obat antidiabetik oral dapat ditambahkan dan penggunaan insulin dapat dihentikan.
Seperti telah diketahui,pada pasien DM terjadi gangguan sekresi insulin basal dan prandial untuk mempertahankan kadar glucosa darah dalam batas normal baik pada keadaan puasa maupun setelah makan. Dengan demikian bahwa hakikat pengobatan DM hádala menurunkan kadar glucosa darah baik puasa maupun setelah makan.
Dalam rangka mencapai sasaran pengobatan yang baik, maka diperlukan insulin dengan karakteristik menyerupai orang sehat, yaitu kadar insulin yang sesuai dengan kebutuhan basal dan prandial. Pemberian insulin basal,selain insulin prandial,merupakan salah satu strategi pengobatan untuk memperbaiki kadar glucosa darah puasa atau sebelum makan. Oleh karena glucosa darah setelah makan merupakan keadaan yang dipengaruhi oleh kadar glucosa darah puasa, maka diharapkan dengan menurunkan kadar glucosa darah basal, kadar glucosa darah setelah makan juga ikut turun.
Cara pemberian insulin basal dapat dilakukan dengan pemberian insulin kerja cepat drip intravena (hanya dilakukan pada pasien rawat inap), atau dengan pemberian insulin kerja panjang secara subkutan. Jenis insulin kerja panjang yang tersedia di Indonesia saat ini adalah salah satunya insulin detemir (nama patennya Levemir flexpen dari Novo).
Idealnya,sesuai dengan keadaan fisiologis tubuh, terapi insulin diberikan sekali untuk kebutuhan basal dan tiga kali dengan insulin prandial untuk kebutuhan setelah makan. Namun demikian,terapi insulin yang diberikan dapat divariasikan sesuai dengan kenyamanan penderita selama terapi insulin mendekati kebutuhan fisiologis. Walaupun banyak cara yang dapat dianjurkan, Namur prinsip dasarnya adalah sama; yaitu insulin prandial dikombinasikan dengan insulin basal dalam usaha untuk menirukan sekresi insulin fisiologis.

Sumber: PERKENI. Petunjuk Praktis. Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit DalamFKUI,Yakarta,2008. Hal. 9-12.




Sabtu, 04 Oktober 2008

Kontrol Kadar Glukosa, Turunkan Risiko Kardiovakular Pasien Diabetes

Prevalensi diabetes semakin meningkat. Bukan itu saja kabar buruknya. Sebagian besar penderita diabetes akan meninggal akibat komplikasi kardiovakular. Ini bukan sekadar gertakan semata. Studi-studi prospektif yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa kadar glukosa dan hemoglobin glikat dalam darah berkaitan dengan risiko kejadian vaskular mayor.

Namun studi RCT yang pernah dilakukan untuk mengevaluasi efek kontrol glikemik pada pasien diabetes menunjukkan bukti yang tidak konsisiten terhadap penyakit vaskular. Jadi bisa dikatakan, pada pasien diabetes melitus tipe 2, efek kontrol kadar glukosa dalam darah terhadap kardiovakular masih belum jelas. Namun begitu, guideline terbaru merekomendasikan taget nilai hemoglobin glikat atau sering disebut juga dengan HbA1c adalah sebesar 7,0% atau kurang pada pasien diabetes.

Efek penurunan kadar HbA1c dalam darah terhadap komplikasi kardiovakular mayor yang sesungguhnya bisa dilihat pada studi ADVANCE (Action in Diabetes and Vascular Disease: Preterax and Diamicron Modified Release Controlled Evaluation). Dalam studi ini, target penurunan HbA1c ditetapkan sebesar 6,5% atau kurang pada pasien diabetes melitus tipe 2.

ADVANCE dilakukan di 215 center yang tersebar di 20 negara Asia, Australasia, Eropa, dan Amerika Utara. Ada 11.140 pasien diabetes melitus tipe 2 yang memenuhi syarat dilakukan pengacakan. Mereka kemudian dibagi dalam dua kelompok. Sebanyak 5.571 orang menjalani kontrol kadar gula darah secara intensif, dan 5.569 menjalani kontrol

gula darah standar. Kontrol gula darah secara intensif dilakukan dengan pemberian gliklazid (modified release/MR 30-120 mg per hari) ditambah obat-obat lain yang dibutuhkan (metformin,TDZ, akarbose atau insulin) agar kadar HbA1c mencapai 6,5% atau kurang.

Pasien yang masuk kriteria adalah mereka yang terdiagnosa diabetes di usia 30 atau lebih dan saat studi dimulai minimal berusia 55 tahun. Mereka setidaknya memiliki riwayat penyakit makrovaskular mayor atau penyakit mikrovaskular, atau setidaknya memiliki satu risiko tambahan penyakit vaskular.

Tujuan utama studi adalah melihat gabungan kejadian makrovaskular dan gabungan kejadian mikrovaskular, baik dikombinasikan maupun secara terpisah. Kejadian makrovaskular didefinisikan sebagai kematian karena penyebab kardiovaskular, infark miokardial nonfatal, atau stroke nonfatal. Sedangkan kejadian mikrovaskular didefinisikan sebagai berkembangnya nefropati dan retinopati baru atau perburukan.

Perburukan nefropati diindikasikan dengan adanya makroalbuminuria, di mana rasio albumin:kreatinin dalam urin lebih dari 300µg albumin per miligram kreatinin, atau kadar kreatinin serum minimal 200 µmol per liter. Selain itu ada kebutuhan terapi penggantian ginjal, atau kematian akibat penyakit ginjal. Sedangkan untuk retinopati, didefinisikan sebagai perkembangan retinopati proliferasi, edema makular, atau kebutaan terkait diabetes, dan kebutuhan melakukan terapi fotokoagulasi retina.

Penurunan mikro dan makrovaskular

Hasil studi ADVANCE menunjukkan, strategi kontrol glukoksa secara intensif dengan melibatkan gliklazid MR, ditambah obat lain yang dibutuhkan, bisa menurunkan rata-rata kadar HbA1c hingga 6,5% pada pasien diabetes melitus tipe 2, dan menurunkan hasil akhir utama (primary outcome) dalam hal insiden kejadian mikrovaskular atau makrovaskular. Kontrol HbA1c secara intensif menurunkan primary outcome berupa kombinasi kejadian makrovaskular dan mikrovaskular mayor sebesar 10%.

Kontribusi utama hingga terjadi 10% penurunan primary outcome pada kelompok kontrol glukosa secara intensif dibandingkan terapi standar diperoleh dari 21% penurunan risiko nefropati baru atau memburuk.

Dibandingkan dengan kelompok terapi standar, terapi secara intensif menghasilkan penurunan yang signifikan dalam insiden kejadian mikrovaskular mayor, meskipun tidak dalam kejadian makrovaskular. Untuk kejadian makrovaskular, tidak ada efek signifikan dari dua tipe kontrol glukosa. Demikian pula dalam hal kematian karena penyebab kardiovaskular, atau kematian karena sebab apapun. Hipoglikemia berat, meskipun tidak biasa, lebih sering ditemukan pada kelompok kontrol kadar glukosa secara intensif,yakni 2,7% berbanding 1,5% pada kelompok kontrol kadar glukosa standar.

Peneliti berkesimpulan, strategi kontrol glukosa secara intensif, dengan melibatkan glikazid MR dan penambahan obat-obat lain yang dibutuhkan, akan menurunkan nilai hemoglobin glikat hingga 6,5% dan menghasilkan 10% penurunan kombinasi kejadian makrovaskular dan mikrovaskular mayor. Hasil yang paling signifikan adalah penurunan kejadian nefropati baru atau memburuk sebesar 21%.

Signifikan pada ginjal

Kontrol glukosa secara intensif, seperti diperlihatkan studi ADVANCE amat signifikan dalam menghambat laju penyakit ginjal terutama nefropati. Dalam studi ini, ada penurunan sebesar seperlima dalam hal perkembangan nefropati baru atau perburukan nefropati serta penurunan onset baru mikroalbuminuria yang signifikan.

Padahal dalam studi diabetes yang amat terkenal di Inggris, yakni United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), kontrol glukosa dalam darah dengan ketat pada pasien diabetes melitus tipe 2 tidak menurunkan insiden penyakit ginjal, meskipun ada bukti penurunan perkembangan mikroalbuminuria dan proteinuria yang nyata.

Penurunan secara nyata nefropati dalam studi ADVANCE ini amat penting, karena indeks kerusakan ginjal amat kuat kaitannya dengan risiko kejadian vaskular mayor, penyakit ginjal tahap akhir, dan kematian pasien diabetes di masa depan.

Studi ADVANCE tidak menunjukkan efek signifikan dari kontrlo kadar glukosa secara intensif terhadap kejadian makrovaskular. Meskipun hasil-hasil studi mengindikasikan penurunan kadar glukosa hingga mencapai nilai HbA1c sebesar 6,5% tidak menurunkan risiko kejadian kardiovaskular, namun hasil studi ini tidak menutup adanya manfaat dari perbedaan nyata antara kontrol kadar glukosa secara intensif dan standar.

Studi-stusi observasional telah menyatakan, ada kaitan antara antara hemoglobin glikat dan kejadian kardiovaskular. Demikian pula meta analisis dari studi-studi RCT tentang kontrol kadar glukosa yang menyatakan bahwa penurunan 0,7% nilai hemoglobin glikat bisa dijadikan harapan adanya penurunan angka kejadian makrovaskular sekitar seperenam. Dilihat dari confidence intervals untuk perkiraan efek terapi terhadap kejadian makrovaskular, studi ADVANCE sebenarnya konsisiten dengan penurunan kejadian makrovaskular. Sayangnya dalam studi ini tidak ada data statistik yang kuat untuk mendeteksi efek tersebut secara nyata.

Angka kejadian makrovaskular dalam setahun (2,2%) lebih rendah dibandingkan yang diantisipasi, yakni 3,0%, berdasarkan studi-studi pada pasien diabetes melitus sebelumnya. Kemungkinan hasil studi ini meupakan dampak dari penggunaan lebih besar ari statin, obat-obat penurun tekanan darah, dan agen antiplatelet.

Pada akhirnya menjadi jelas, bahwa pencegahan komplikasi makrovaskular pada pasien diabetes membutuhkan pendekatan multifaktoral, dengan target semua faktor risiko termasuk tekanan darah dan lemak darah. Manfaat utama yang ditunjukkan gliklazid MR dalam studi ADVANCE adalah penurunan hingga seperlima komplikasi ginjal. Hal ini mengindikasikan bahwa kontrlo kadar glukosa secara intensif memegang peran penting dalam pencegahan komplikasi makrovaskular pasien diabetes tipe 2.

Sumber : http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=915