Selasa, 09 Desember 2008
Terapi Insulin untuk Pasien DM Rawat Jalan
A. Indikasi terapi insulin untuk pasien DM rawat jalan
Masih terdapatnya beberapa kendala penggunaan insulin oleh dokter umum,sering
menyebabkan keterlambatan kendali glukosa darah yang baik bagi pasien diabetes melitus. Pasien DM Tipe 2 (DMT2) yang memiliki kontrol glukosa darah yang tidak baik dengan penggunaan obat antidiabetik oral perlu dipertimbangkan untuk penambahan insulin sebagai terapi kombinasi dengan obat oral atau insulin tunggal.
Insulin yang diberikan lebih dini dan lebih agresif menunjukkan hasil klinis yang lebih baik terutama berkaitan dengan masalah glukotoksisitas.Hal tersebut diperlihatkan oleh perbaikan fungsi sel beta pankreas. Insulin juga memiliki efek lain yang menguntungkan dalam kaitannya dengan komplikasi DM. Terapi insulin dapat mencegah kerusakan endotel,menekan proses inflamasi, mengurangi kejadian apoptosis,dan memperbaiki profil lipid. Dengan demikian,secara ringkas dapat dikatakan bahwa luaran klinis pasien yang diberikan terapi insulin akan lebih baik. Insulin, terutama insulin analog, merupakan jenis yang baik karena memiliki profil sekresi yang sangat mendekati pola sekresi insulin normal atau fisiologis.
Pada awalnya,terapi insulin hanya ditujukan bagi pasien diabetes melitus tipe 1 (DMT1), namun demikian pada kenyataannya, insulin lebih banyak digunakan oleh pasien DMT2 karena prevalensi DMT2 jauh lebih banyak dibandingkan DMT1.
Terapi insulin pada DMT2 dapat dimulai antara lain untuk pasien dengan kegagalan terapi oral,kendali kadar glukosa darah yang buruk (A1c > 7,5 % atau kadar glukosa darah puasa > 250 mg/dl), riwayat pankreatektomi atau disfungsi pankreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa darah yang lebar, riwayat ketoasidosis, riwayat penggunaan insulin lebih dari 5 tahun dan penyandang DM lebih dari 10 tahun.
B. Memulai dan alur pemberian insulin
Pada pasien DMT1, pemberian insulin yang dianjurkan adalah injeksi harian multipel dengan tujuan mencapai kendali kadar glukosa darah yang baik. Selain itu, pemberian dapat juga dilakukan dengan menggunakan pompa insulin (continous subcutaneous insulin infusion, CSII).
Setiap pusat pelayanan memiliki alur terapi diabetes dan mula awal terapi insulin yang berbeda untuk para pasien DMT2. Alur yang dibuat oleh kesepakatan antara American Diabetes Association (ADA) dan European Association for the Study of Diabetes (EASD) yang dipublikasikan pada bulan Agustus 2006 dapat dipakai sebagai salah satu acuan.
Ada beberapa cara untuk memulai dan menyesuaikan dosis terapi insulin untuk pasien DMT2. Salah satu cara yang paling mutakhir dan dapat dipakai sebagai acuan adalah hasil Konsensus PERKENI 2006 dan Konsensus ADA-EASD tahun 2006. Sebagai pegangan, jika kadar glucosa darah tidak terkontrol dengan baik (A1C>7,5%) dalam jangka waktu 3 bulan dengan 2 obat oral, maka sudah ada indikasi untuk memulai terapi kombinasi obat antidiabetik oral dan insulin.
Pada keadaan tertentu dimana kendali glikemik Amat buruk dan disertai kondisi katabolisme, seperti kadar glucosa darah puasa > 250 mg/dl,kadar glucosa darah acak menetap > 300 mg/dl, A1C > 10 %, atau ditemukan ketonuria,maka terapi insulin dapat mulai diberikan bersamaan dengan intervensi pola hidup. Selain itu,terapi insulin juga dapat langsung diberikan pada pasien DM yang memiliki gejala nyata (poliuri,polifagia dan penurunan berat badan). Kondisi-kondisi tersebut sering ditemukan pada pasien DMT1 atau DMT2 dengan defisiensi insulin yang berat. Apabila gejala hilang, obat antidiabetik oral dapat ditambahkan dan penggunaan insulin dapat dihentikan.
Seperti telah diketahui,pada pasien DM terjadi gangguan sekresi insulin basal dan prandial untuk mempertahankan kadar glucosa darah dalam batas normal baik pada keadaan puasa maupun setelah makan. Dengan demikian bahwa hakikat pengobatan DM hádala menurunkan kadar glucosa darah baik puasa maupun setelah makan.
Dalam rangka mencapai sasaran pengobatan yang baik, maka diperlukan insulin dengan karakteristik menyerupai orang sehat, yaitu kadar insulin yang sesuai dengan kebutuhan basal dan prandial. Pemberian insulin basal,selain insulin prandial,merupakan salah satu strategi pengobatan untuk memperbaiki kadar glucosa darah puasa atau sebelum makan. Oleh karena glucosa darah setelah makan merupakan keadaan yang dipengaruhi oleh kadar glucosa darah puasa, maka diharapkan dengan menurunkan kadar glucosa darah basal, kadar glucosa darah setelah makan juga ikut turun.
Cara pemberian insulin basal dapat dilakukan dengan pemberian insulin kerja cepat drip intravena (hanya dilakukan pada pasien rawat inap), atau dengan pemberian insulin kerja panjang secara subkutan. Jenis insulin kerja panjang yang tersedia di Indonesia saat ini adalah salah satunya insulin detemir (nama patennya Levemir flexpen dari Novo).
Idealnya,sesuai dengan keadaan fisiologis tubuh, terapi insulin diberikan sekali untuk kebutuhan basal dan tiga kali dengan insulin prandial untuk kebutuhan setelah makan. Namun demikian,terapi insulin yang diberikan dapat divariasikan sesuai dengan kenyamanan penderita selama terapi insulin mendekati kebutuhan fisiologis. Walaupun banyak cara yang dapat dianjurkan, Namur prinsip dasarnya adalah sama; yaitu insulin prandial dikombinasikan dengan insulin basal dalam usaha untuk menirukan sekresi insulin fisiologis.
Sumber: PERKENI. Petunjuk Praktis. Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit DalamFKUI,Yakarta,2008. Hal. 9-12.
Jumat, 31 Oktober 2008
Selection and Use of Disinfectants in Healthcare
Achieving disinfection and sterilization through the use of disinfectants and sterilization practices is essential for ensuring that medical and surgical instruments do not transmit infectious pathogens to patients. Since it is unnecessary to sterilize all patient-care items, healthcare policies must identify whether cleaning, disinfection, or sterilization is indicated based primarily on the items' intended use.
Multiple studies in many countries have documented lack of compliance with established guidelines for disinfection and sterilization. Failure to comply with scientifically based guidelines has led to numerous outbreaks. This article presents a pragmatic approach to the judicious selection and proper use of disinfection processes, based on well-designed studies assessing the efficacy (via laboratory investigations) and effectiveness (via clinical studies) of disinfection procedures.
DEFINITION OF TERMS
Sterilization is the complete elimination or destruction of all forms of microbial life and is accomplished in healthcare facilities by either physical or chemical processes. Steam under pressure, dry heat, ethylene oxide (ETO) gas, hydrogen peroxide gas plasma, and liquid chemicals are the principal sterilizing agents used in healthcare facilities. Sterilization is intended to convey an absolute meaning, not a relative one. Unfortunately, some health professionals as well as the technical and commercial literature refer to disinfectionâl as sterilizationâl and items as partially sterile. When chemicals are used for the purposes of destroying all forms of microbiologic life, including fungal and bacterial spores, they may be called chemical sterilants. These same germicides used for shorter exposure periods may also be part of the disinfection process (i.e., high-level disinfection).
Disinfection describes a process that eliminates many or all pathogenic microorganisms on inanimate objects with the exception of bacterial spores. Disinfection is usually accomplished by the use of liquid chemicals or wet pasteurization in healthcare settings. The efficacy of disinfection is affected by a number of factors, each of which may nullify or limit the efficacy of the process. Some of the factors that affect both disinfection and sterilization efficacy are the prior cleaning of the object; the organic and inorganic load present; the type and level of microbial contamination; the concentration of and exposure time to the germicide; the nature of the object (e.g., crevices, hinges, and lumina); the presence of biofilms; the temperature and pH of the disinfection process; and, in some cases, the relative humidity of the sterilization process (e.g., ETO).
By definition, then, disinfection differs from sterilization by its lack of sporicidal property, but this is an oversimplification. A few disinfectants kill spores with prolonged exposure times (3 to 12 hours) and are called chemical sterilants. At similar concentrations but with shorter exposure periods (e.g., 20 minutes for 2% glutaraldehyde), these same disinfectants kill all microorganisms with the exception of large numbers of bacterial spores and are called high-level disinfectants. Low-level disinfectants may kill most vegetative bacteria, some fungi, and some viruses in a practical period of time (10 minutes), whereas intermediate-level disinfectants may be cidal for mycobacteria, vegetative bacteria, most viruses, and most fungi, but do not necessarily kill bacterial spores. The germicides differ markedly among themselves primarily in their antimicrobial spectrum and rapidity of action.
Cleaning, on the other hand, is the removal of visible soil (e.g., organic and inorganic material) from objects and surfaces, and it normally is accomplished by manual or mechanical means using water with detergents or enzymatic products. Thorough cleaning is essential before high-level disinfection and sterilization since inorganic and organic materials that remain on the surfaces of instruments interfere with the effectiveness of these processes. Decontamination is a procedure that removes pathogenic microorganisms from objects so they are safe to handle, use, or discard.
The suffix -cide or -cidal indicates a killing action. For example, a germicide is an agent that can kill microorganisms, particularly pathogenic microorganisms (germs). The term germicide includes both antiseptics and disinfectants. Antiseptics are germicides applied to living tissue and skin, whereas disinfectants are antimicrobials applied only to inanimate objects. In general, antiseptics are used only on the skin and not for surface disinfection, and disinfectants are not used for skin antisepsis, because they may cause injury to skin and other tissues. Other words with the suffix -cide (e.g., virucide, fungicide, bactericide, sporicide, and tuberculocide) can kill the type of microorganism identified by the prefix. For example, a bactericide is an agent that kills bacteria.
Reference : Rutala WA and Weber DJ. Selection and Use of Disinfectants in Healthcare. In Hospital Epidemiology and Infection Control, 3rd Edition. Editors: Mayhall, C. Glen. Copyright ©2004 Lippincott Williams & Wilkins.
Kamis, 30 Oktober 2008
Evidence-based infectious diseases
played a major role in the development of epidemiological research in the 19th and early 20th centuries. Classical observational epidemiology was derived from studies of epidemics – infectious diseases such as cholera, smallpox, and tuberculosis. Classical epidemiology was nevertheless action-oriented.
Sumber : Loeb Mark, Smieja Marek, Smaill Fiona . Introduction to evidence-based infectious diseases. In EVIDENCE-BASED INFECTIOUS DISEASES. © BMJ Publishing Group Ltd 2004,p.1-2
Sabtu, 18 Oktober 2008
Detik-detik Sakaratul Maut Rasulullah SAW
Sumber :
http://minangdanbroadcast.multiply.com/journal/item/146/Detik-detik_Sakaratul_Maut_Rasulullah_SAW
Minggu, 12 Oktober 2008
ePharma Physician v8.0 : Dokter mengharapkan waktu lebih untuk bergeser ke Pelayanan Profesional Online
Survei tahun ini menemukan bahwa para dokter menginginkan menerima kebanyakan informasi produk peralatan dan farmasi melalui online dan sumber elektronik lainnya. Saat ini, para dokter melakukan 41% penelitian farmasi mereka online, tapi berharap meningkatakan persentase melebihi 50% di masa mendatang.
Mark bard, Presiden Manhattan Research mengatakan bahwa trend ini membuktikan adanya kesempatan bagi perusahaan farmasi dan biotek kecil dan khusus untuk mendapat pijakan melawan kompetitor besar dalam mencapai dokter dan pangsa pasar melalui sales digital efektif biaya dan strategi pendukung marketing. Kanal digital telah mendapat tempat di berbagai industri, membuat kelompok sales dan marketing kesempatan membuat dampak besar walaupun sumber daya terbatas.
Jurnal-jurnal online dan konferensi virtual adalah 2 sumber profesional lain yang akan menjadi lalu lintas utama dokter di masa mendatang. Studi menemukan bahwa dokter mengharapkan kelonggaran waktu menggunakan jurnal cetak dan konferensi langsung dibandingkan versi online-nya. Pasar untuk sumber klinis online telah tumbuh cepat dalam 5 tahun terakhir, beberapa perusahaan mengambil kesempatan dengan meningkatkan tawaran interaktif mereka dengan para dokter. Penebit medis Elsevier melansir WiserWiki tahun 2008 bagi para dokter untuk berkontribusi dan memutakhirkan data klinis secara kolaborasi, dan para dokter diharapkan melihat lebih banyak alat inovasi seperti ini dilansir di masa depan.
Sumber : http://www.kalbe.co.id/print_version.php?mn=news&detail=19767
Sabtu, 11 Oktober 2008
Problem Based Learning
Beberapa cuplikan abstrak diantaranya:
Singapura memiliki visi mengembangkan portal web kesehatan nasional sebagai suatu multi layanan. Akan ada informasi kesehatan serta perangkat pengawasan dan pencegahan dalam rangka pengelolaan kesehatan pribadi.
Pada abstrak lainnya, suatu layanan konsultasi kesehatan secara umum, ditemukan pengguna wanita lebih banyak menggunakan jasa dokter praktik umum (wanita lebih rasional?). Sedangkan pria lebih banyak dalam pemanfaatan konsultasi elektronik via e-mail (pria lebih terpapar teknologi?).
Sebagian besar konsultasi e-mail memang tidak menghasilkan diagnosis. Karena tidak memenuhi prosedur diagnostik umumnya (anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang). Bagaimana jika pemeriksaan fisik dapat dilakukan secara virtual? Penyakit/kondisi kesehatan yang sering dikonsultasikan diantaranya penyakit metabolik seperti diabetes (kencing manis), kehamilan dan masalah sistem reproduksi pria. Apakah hal yang sama terjadi pada sejawat lainnya?
Kebanyakan hal yang disajikan pada Kongres Medicine 2.0 2008 tersebut terkait dengan Internet. Walaupun koneksi Internet di negara kita masih belum memadai, cepat atau lambat akan makin banyak yang membutuhkan, terutama untuk akses data.
Pengguna yang memanfaatkan Internet untuk mencari informasi kesehatan/kedokteran (’Internet health seeker’) dinyatakan makin meningkat secara kuantitas. Sejalan juga dengan beragamnya informasi yang tersedia. Kualitas menjadi masalah berikutnya. Keterlibatan sejawat bidang kesehatan/kedokteran dan teknologi yang terjun ke dunia Internet diharapkan mampu menjawab masalah kualitas tersebut. Beliau-beliau dapat membantu menyaring informasi yang berkualitas sesuai kaidah keilmuannya dan menyajikannya sehingga lebih mudah dicerna dan diakses (aksesibel) via halaman web.
Di era Medicine 2.0, Health 2.0 atau apapun istilahnya, pembaca informasi kesehatan/kedokteran, baik kalangan medis dan non medis, dapat langsung bertindak selaku penyedia informasi. Mereka membuat isi/muatan (’content’) atau menulis informasi tersebut dari hasil penelusuran kepustakaan dan pengalaman pribadi. Lalu memuatnya via blog, wiki, podcast. Begitu cepat informasi kesehatan/kedokteran akan tersebar. Kadang tidak disertai sumber acuan yang jelas, terkait dengan kedokteran berbasis bukti (’evidence based medicine’).
Tantangan untuk para pencari informasi kesehatan/kedokteran memilah informasi yang berkualitas. Di Internet banyak tersedia panduan untuk menilai kualitas informasi kesehatan yang tersaji di dunia maya ini.
Siapa tahu nanti wiki kesehatan/kedokteran yang termoderasi oleh para ahli di bidangnya dapat diterima lebih luas di kalangan akademisi. :)
Begitu juga dengan situs web/blog kesehatan/kedokteran di tingkat nasional. Selama ini saya masih kesulitan menemukan situs web/blog kesehatan/kedokteran dalam negeri, selain dikelola rekan sejawat, yang bisa dijadikan acuan. Pembaca mungkin punya rekomendasi tersendiri…
Taken from: Medicine 2.0 Congress - Belajar dari Pengalaman by Dani Iswara (Dani Iswara .Net).
Senin, 06 Oktober 2008
CHIKUNGUNYA DISEASE
Kata "chikungunya" berasal dari bahasa Swahili (Afrika) yang berarti menekuk, mencerminkan gaya tubuh/posisi penderita pada saat merasa nyeri sendi yang hebat. Demam Chikungunya adalah penyakit di daerah tropis seperti Asia dan Afrika. Penyakit itu pertama kali dikenal tahun 1952 di Afrika Timur. Meskipun ada juga yang mengatakan bahwa sekitar tahun 1779 telah ditemukan gejala seperti itu di Batavia.
Penyebab
Arbovirus famili Togaviridae genus Alpha virus, dengan perantaraan nyamuk Aedes.
Faktor Risiko
Perubahan musim hujan, ketika banyak air yang tergenang.
Patofisiologi
Demam Chikungunya mempunyai masa inkubasi (periode sejak digigit nyamuk pembawa virus hingga menimbulkan gejala) sekitar 2 hingga 4 hari. Setelah masa inkubasi tersebut, gejala yang ditimbulkan -mirip dengan gejala penyakit Demam Berdarah- adalah demam tinggi (39 - 40 derajat Celsius), menggigil, dan sakit kepala.
Gejala dan Tanda
Gejala yang paling menonjol pada kasus ini adalah nyeri pada setiap persendian (poliarthralgia) terutama pada sendi lutut, pergelangan kaki dan tangan, serta sendi-sendi tulang punggung. Radang sendi yang terjadi menyebabkan sendi susah untuk digerakkan, bengkak dan berwarna kemerahan. Itulah sebabnya postur tubuh penderita menjadi seperti membungkuk dengan jari-jari tangan dan kaki menjadi tertekuk (chikungunya).
Gejala lain adalah munculnya bintik-bintik kemerahan pada sebagian kecil anggota badan, serta bercak-bercak merah gatal di daerah dada dan perut. Muka penderita bisa menjadi kemerahan dan disertai rasa nyeri pada bagian belakang bola mata. Meskipun gejala penyakit itu bisa berlangsung 3-10 hari (kemudian sembuh dengan sendirinya), tetapi tidak dengan nyeri sendinya yang bisa berlangsung berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.
Komplikasi
Perbedaan utama dengan penyakit demam berdarah adalah soal kefatalannya yang menyebabkan kematian. Penyakit demam Chikungunya adalah penyakit yang jarang menyebabkan kematian. Perbedaan lain adalah demam Chikungunya bisa menginfeksi seluruh anggota keluarga.
Juga serangan demam Chikungunya mendadak dengan masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, dan hampir selalu disertai bintik-bintik kemerahan, mata merah, dan lebih sering dijumpai nyeri sendi (bukan kelumpuhan). Pada demam Chikungunya hampir tidak pernah terjadi perdarahan organ dalam seperti pada saluran cerna atau pun syok karena perdarahan.Persamaannya adalah uji tourniquet bisa positif, dan timbul bintik-bintik perdarahan, serta mimisan
Pencegahan
Satu-satunya cara menghindari gigitan nyamuk karena vaksin demam Chikungunya belum ada, adalah dengan mencegah kita digigit nyamuk Aedes. Selain itu bisa dilakukan pemberantasan vektor nyamuk dewasa maupun membunuh jentik nyamuk. Pemberantasan vektor nyamuk dewasa bisa dilakukan dengan racun serangga atau pengasapan/fogging dengan malathion sedangkan abatisasi digunakan untuk memberantas jentik pada TPA (tempat penampungan air). Sarang nyamuk diberantas dengan cara PSN.
Abatisasi Tujuan abatisasi agar kalau sampai telur nyamuk menetas, jentik nyamuk tidak akan menjadi nyamuk dewasa. Semua TPA yang ditemukan jentik Aedes aegypti ditaburi bubuk abate sesuai dengan dosis satu sendok makanan peres (10 gram) abate untuk 100 liter air. Bubuk abate juga dituang di bak mandi. Konsekuensinya, kita jangan menyikat bak/TPA tersebut selama kurang lebih tiga bulan karena lapisan abate yang sudah terbentuk di dinding, yang berpotensi membunuh jentik nyamuk mampu bertahan sampai tiga bulan. Jika dinding TPA/bak mandi disikat sebelum tiga bulan, lapisan abate akan terkelupas dan hilang. Meskipun abatisasi bisa dilakukan di semua tempat penampungan air, secara bijaksana kita bisa melakukan abatisasi di tempat-tempat yang berpotensi nyamuk bersarang dan bertelur besar. Yaitu di tempat-tempat yang jarang digunakan atau diganti airnya. Untuk tempat-tempat lain bisa dilakukan pengurasan setiap tiga hingga tujuh hari.
Pemberantasan Sarang Nyamuk PSN adalah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dalam membasmi jentik nyamuk Aedes dengan cara 3M, yaitu sebagai berikut :a. Menguras secara teratur, terus-menerus seminggu sekali, mengganti air secara teratur tiap kurang dari seminggu pada vas bunga, tempat minum burung, atau menaburkan abate ke TPA b. Menutup rapat-rapat TPAc. Mengubur atau menyingkirkan kaleng-kaleng bekas, plastik dan barang-barang lainnya yang dapat menampung air hujan sehingga tidak menjadi sarang nyamuk. d. Khusus di tempat pasca-kebakaran (seperti Pasar Tanah Abang) harus segera dibersihkan dari wadah-wadah yang bisa menampung air. 4. Proteksi diri dengan salep atau gunakan kawat nyamuk Tidak seperti nyamuk-nyamuk yang lain, nyamuk itu menggigit pada siang hari. Untuk mencegahnya kita bisa menggunakan salep atau minyak yang dioles di bagian tubuh yang terbuka. Selain menggunakan salep untuk mencegah gigitan nyamuk, kita bisa menggunakan minyak sereh. Cara lain adalah dengan menggunakan kawat nyamuk di pintu-pintu dan jendela rumah.
Bersihkan halaman dan kebun di sekitar rumah Halaman atau kebun di sekitar rumah harus bersih dari benda-benda yang memungkinkan menampung air bersih, terutama pada musim hujan seperti sekarang. Pintu dan jendela rumah sebaiknya dibuka setiap hari, mulai pagi hari sampai sore agar udara segar dan sinar matahari dapat masuk, sehingga terjadi pertukaran udara dan pencahayaan yang sehat. Dengan demikian, tercipta lingkungan yang tidak ideal bagi nyamuk tersebut. Dengan melakukan hal-hal di atas, sebenarnya kita sudah melakukan perlindungan tidak hanya pada demam Chikungunya tetapi juga demam berdarah yang lebih fatal dan mematikan. Tidak mustahil penyakit Demam Chikungunya datang bersama-sama dengan penyakit demam berdarah. Penatalaksanaan
Umumnya penyakit virus adalah penyakit yang bisa sembuh dengan sendirinya. Begitu pula dengan penyakit demam Chikungunya. Dalam waktu 10 hingga dua minggu penderita sudah akan sembuh. Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan simptomatik, yaitu hanya mengurangi gejalanya saja seperti gejala demam diberi obat penurun panas, gejala nyeri sendi juga bisa diberikan obat pengurang nyeri, dan lain-lain.
Disarankan juga agar penderita banyak beristirahat dan konsumsi makanan yang bergizi, agar bisa mempercepat penyembuhan. Obat golongan vitamin bisa digunakan untuk itu menambah daya tahan tubuh. Untuk perawatan di rumah, penderita dianjurkan untuk banyak minum, jika demamnya tinggi bisa kompres untuk menurunkan panas.
Sabtu, 04 Oktober 2008
Kontrol Kadar Glukosa, Turunkan Risiko Kardiovakular Pasien Diabetes
Namun studi RCT yang pernah dilakukan untuk mengevaluasi efek kontrol glikemik pada pasien diabetes menunjukkan bukti yang tidak konsisiten terhadap penyakit vaskular. Jadi bisa dikatakan, pada pasien diabetes melitus tipe 2, efek kontrol kadar glukosa dalam darah terhadap kardiovakular masih belum jelas. Namun begitu, guideline terbaru merekomendasikan taget nilai hemoglobin glikat atau sering disebut juga dengan HbA1c adalah sebesar 7,0% atau kurang pada pasien diabetes.
Efek penurunan kadar HbA1c dalam darah terhadap komplikasi kardiovakular mayor yang sesungguhnya bisa dilihat pada studi ADVANCE (Action in Diabetes and Vascular Disease: Preterax and Diamicron Modified Release Controlled Evaluation). Dalam studi ini, target penurunan HbA1c ditetapkan sebesar 6,5% atau kurang pada pasien diabetes melitus tipe 2.
ADVANCE dilakukan di 215 center yang tersebar di 20 negara Asia, Australasia, Eropa, dan Amerika Utara. Ada 11.140 pasien diabetes melitus tipe 2 yang memenuhi syarat dilakukan pengacakan. Mereka kemudian dibagi dalam dua kelompok. Sebanyak 5.571 orang menjalani kontrol kadar gula darah secara intensif, dan 5.569 menjalani kontrol
gula darah standar. Kontrol gula darah secara intensif dilakukan dengan pemberian gliklazid (modified release/MR 30-120 mg per hari) ditambah obat-obat lain yang dibutuhkan (metformin,TDZ, akarbose atau insulin) agar kadar HbA1c mencapai 6,5% atau kurang.
Pasien yang masuk kriteria adalah mereka yang terdiagnosa diabetes di usia 30 atau lebih dan saat studi dimulai minimal berusia 55 tahun. Mereka setidaknya memiliki riwayat penyakit makrovaskular mayor atau penyakit mikrovaskular, atau setidaknya memiliki satu risiko tambahan penyakit vaskular.
Tujuan utama studi adalah melihat gabungan kejadian makrovaskular dan gabungan kejadian mikrovaskular, baik dikombinasikan maupun secara terpisah. Kejadian makrovaskular didefinisikan sebagai kematian karena penyebab kardiovaskular, infark miokardial nonfatal, atau stroke nonfatal. Sedangkan kejadian mikrovaskular didefinisikan sebagai berkembangnya nefropati dan retinopati baru atau perburukan.
Perburukan nefropati diindikasikan dengan adanya makroalbuminuria, di mana rasio albumin:kreatinin dalam urin lebih dari 300µg albumin per miligram kreatinin, atau kadar kreatinin serum minimal 200 µmol per liter. Selain itu ada kebutuhan terapi penggantian ginjal, atau kematian akibat penyakit ginjal. Sedangkan untuk retinopati, didefinisikan sebagai perkembangan retinopati proliferasi, edema makular, atau kebutaan terkait diabetes, dan kebutuhan melakukan terapi fotokoagulasi retina.
Penurunan mikro dan makrovaskular
Hasil studi ADVANCE menunjukkan, strategi kontrol glukoksa secara intensif dengan melibatkan gliklazid MR, ditambah obat lain yang dibutuhkan, bisa menurunkan rata-rata kadar HbA1c hingga 6,5% pada pasien diabetes melitus tipe 2, dan menurunkan hasil akhir utama (primary outcome) dalam hal insiden kejadian mikrovaskular atau makrovaskular. Kontrol HbA1c secara intensif menurunkan primary outcome berupa kombinasi kejadian makrovaskular dan mikrovaskular mayor sebesar 10%.
Kontribusi utama hingga terjadi 10% penurunan primary outcome pada kelompok kontrol glukosa secara intensif dibandingkan terapi standar diperoleh dari 21% penurunan risiko nefropati baru atau memburuk.
Dibandingkan dengan kelompok terapi standar, terapi secara intensif menghasilkan penurunan yang signifikan dalam insiden kejadian mikrovaskular mayor, meskipun tidak dalam kejadian makrovaskular. Untuk kejadian makrovaskular, tidak ada efek signifikan dari dua tipe kontrol glukosa. Demikian pula dalam hal kematian karena penyebab kardiovaskular, atau kematian karena sebab apapun. Hipoglikemia berat, meskipun tidak biasa, lebih sering ditemukan pada kelompok kontrol kadar glukosa secara intensif,yakni 2,7% berbanding 1,5% pada kelompok kontrol kadar glukosa standar.
Peneliti berkesimpulan, strategi kontrol glukosa secara intensif, dengan melibatkan glikazid MR dan penambahan obat-obat lain yang dibutuhkan, akan menurunkan nilai hemoglobin glikat hingga 6,5% dan menghasilkan 10% penurunan kombinasi kejadian makrovaskular dan mikrovaskular mayor. Hasil yang paling signifikan adalah penurunan kejadian nefropati baru atau memburuk sebesar 21%.
Signifikan pada ginjal
Kontrol glukosa secara intensif, seperti diperlihatkan studi ADVANCE amat signifikan dalam menghambat laju penyakit ginjal terutama nefropati. Dalam studi ini, ada penurunan sebesar seperlima dalam hal perkembangan nefropati baru atau perburukan nefropati serta penurunan onset baru mikroalbuminuria yang signifikan.
Padahal dalam studi diabetes yang amat terkenal di Inggris, yakni United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), kontrol glukosa dalam darah dengan ketat pada pasien diabetes melitus tipe 2 tidak menurunkan insiden penyakit ginjal, meskipun ada bukti penurunan perkembangan mikroalbuminuria dan proteinuria yang nyata.
Penurunan secara nyata nefropati dalam studi ADVANCE ini amat penting, karena indeks kerusakan ginjal amat kuat kaitannya dengan risiko kejadian vaskular mayor, penyakit ginjal tahap akhir, dan kematian pasien diabetes di masa depan.
Studi ADVANCE tidak menunjukkan efek signifikan dari kontrlo kadar glukosa secara intensif terhadap kejadian makrovaskular. Meskipun hasil-hasil studi mengindikasikan penurunan kadar glukosa hingga mencapai nilai HbA1c sebesar 6,5% tidak menurunkan risiko kejadian kardiovaskular, namun hasil studi ini tidak menutup adanya manfaat dari perbedaan nyata antara kontrol kadar glukosa secara intensif dan standar.
Studi-stusi observasional telah menyatakan, ada kaitan antara antara hemoglobin glikat dan kejadian kardiovaskular. Demikian pula meta analisis dari studi-studi RCT tentang kontrol kadar glukosa yang menyatakan bahwa penurunan 0,7% nilai hemoglobin glikat bisa dijadikan harapan adanya penurunan angka kejadian makrovaskular sekitar seperenam. Dilihat dari confidence intervals untuk perkiraan efek terapi terhadap kejadian makrovaskular, studi ADVANCE sebenarnya konsisiten dengan penurunan kejadian makrovaskular. Sayangnya dalam studi ini tidak ada data statistik yang kuat untuk mendeteksi efek tersebut secara nyata.
Angka kejadian makrovaskular dalam setahun (2,2%) lebih rendah dibandingkan yang diantisipasi, yakni 3,0%, berdasarkan studi-studi pada pasien diabetes melitus sebelumnya. Kemungkinan hasil studi ini meupakan dampak dari penggunaan lebih besar ari statin, obat-obat penurun tekanan darah, dan agen antiplatelet.
Pada akhirnya menjadi jelas, bahwa pencegahan komplikasi makrovaskular pada pasien diabetes membutuhkan pendekatan multifaktoral, dengan target semua faktor risiko termasuk tekanan darah dan lemak darah. Manfaat utama yang ditunjukkan gliklazid MR dalam studi ADVANCE adalah penurunan hingga seperlima komplikasi ginjal. Hal ini mengindikasikan bahwa kontrlo kadar glukosa secara intensif memegang peran penting dalam pencegahan komplikasi makrovaskular pasien diabetes tipe 2.
Sumber : http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=915
Puasa Aman untuk Penderita Penyakit Kronis
Sumber : http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_finenews.asp?IDNews=131
Rabu, 28 Mei 2008
Selamat Hari Lansia 29 Mei
Selasa, 27 Mei 2008
Jumat, 23 Mei 2008
Selasa, 20 Mei 2008
KEMOTERAPI
- Mula-mula digunakan istilah kemoterapi tahun 1900 oleh Paul Erlich
- Kemoterapi : Zat- zat yang dapat menghentikan pertumbuhan dari sel kanker.
- Kemoterapi: umumnya bersifat paliatif; yaitu meringankan gejala tanpa mempengaruhi secara
pasti jalannya penyakit selanjutnya (dapat memperpanjang waktu hidup)
- Kemoterapi bersifat kuratif : jika terapi dimulai sedini mungkin yaitu pada kanker darah,
kanker testis.
-Kemoterapi - kurang efektif: pada tumor yang tumbuhnya perlahan dengan sedikit sel yang
sedang membelah. Msalnya : kanker paru-paru, usus besar, kanker hati, rahim
- Kemoterapi tidak efektif: terhadap kanker ginjal dan kanker leher rahim.
Pembagian respon tumor terhadap kemoterapi: (cancer terapi)
A. Sembuh dengan Kemoterapi:
ALL, AML, Ewing Sarkoma, Gestyasional trofoblastik Ca, Hodkins disease, Ca
Testis, Wilm’s Tumor, LNH, Rhabdomyosarkoma.
B. Kemoterapi mempunyai aktivitas yang bermakna:
Ca anus, Ca bladder, Ca mammae, CLL, CML, Ca endometrium, Ca kepala dan
leher, Kanker paru sel kecil, Multiple Myeloma, Limfoma folikuler, Ca ovarium,
Hairy cell leukemia.
C. Kemoterapi mempunya aktivitas minor:
Tumor otak, Ca cervix, Ca kolorectal, Ca Prostat, Hepatoseluler karsinoma,
tumor paru non small sell, melanoma, sarkoma kaposi, Ca pankereas, Ca
gaster, Ca sell ginjal, sarkoma jaringan lunak.
D. Kemoterapi Ajuvan Efektif:
Ca mammae ( KGB aksila (+), Ca colorectal (Dukes B2 atau C) sarkoma
osteogenik, Ca ovarium (stadium III), Ca testis.
Kemoterapi Kombinasi:
Terbukti manfaat penggunaan beberapa obat kemoterapi secara bersamaan dibanding pemberian obat kemoterapi tunggal hampir pada semua kanker.
1. Diberikan obat kemoterapi yang jelas terapinya secara tunggal cukup tinggi
2. Toksisitasnya tidak tumpang tindih sehingga lebih berat terhadap satu organ.
3. Bisa diberikan secara bersamaan sehingga intensitas obat bertambah kuat, tetapi efek
samping tidak bertambah.
4. Diberikan secara dose intensity.
Dose intensity adalah :
- Tepat dosis ( sesuai luas permukaan tubuh), tepat jadwal.
- Jarak waktu antara 2 siklus harus cukup pendek sehingga hanya memberiwaktu
kesempatan pulih sel-sel normal
Kemoterapi sebagai pengobatan kanker:
1. Pengobatan induksi:
-Untuk tumor-tumor non solid atau kasus lanjut karena tidak ada pilihan cara
pengobatan lainnya.
- disebut juga pengobatan penyelamatan (salvage)
2. Kemoterapi Ajuvant:
Pengobatan tumor primer dikontrol dengan cara lain ( bedah/ Radiasi)
Diyakini masih adanya sisa sel-sel tumor yang sukar dideteksi sehingga perlu tambahan kemoterapi.
3. Kemoterapi Primer:
Kemoterapi sebagai pengobatan pertama sebelum pengobatan lain ( bedah/ radiasi)
4. Kemoterapi Neo-adjuvant:
Setelah pengobatan bedah/ radiasi ditambahkan kemoterapi atau dilanjutkan kkembali kemoterapi.
Efek samping kemoterapi:
1. Efek samping cepat atau akut ( immediate):
terjadi dalam beberapa detik sampai 30 menit (syok anafilaktik, aritmoia cordis, nyeri daerah suntikan).
2. Efek samping segera (early)
terjadi dalam 30 menit sampai 72 jam ( mual,muntah, demam, reaksi hipersensitifitas, flu-like syndrome, sistitis).
3. Efek samping agak lambat (intermediate)
-terjadi dalam 72 jam- beberapa hari, misal: depresi sum-sum tulang ( Anemia, Leukopenia, trombositopenia): terjadi sesudah 1-3 minggu ( obat mielosupresi pada umumnya) atau 4-6 minggu ( gol nitrosurea)
- stomatitis, diare, alopesia, neuropati perifer, ileus paralitik, toksisitas pada ginjal, penekanan sistim kekebalan tubuh.
4. Efek samping lambat (late)
terjadi pada beberapa bulan, misalnya :
- hiperpigmentasi kulit
Kerusakan pada organ vital
jantung : dexorubisin
Paru : bleomisin-busulfan
Hati : Metotrexat.
- Efek pada sistim reproduksi ( Amenore, spermatogenesis menurun)
- Perubahan sistim endokrin (feminisasi, virilisasi)
- Efek Karsinogenik (kanker sekunder)
Pengelolaan simtomatik post kemoterapi:
Nausea dan vomitus
- golongan fenotiazin= lini pertama
- Domperidon ><> 20000/mm
e. Infeksi
f. Oleh karena defisiensi imunologi yang berhubungan dengan keganasan.
Efek kemotherapi
Perlu dilakukan kultur darah, urin, sputum swab faring.
Pemberian Kemoterapi
Dapat dengan suntikan (iv,IM, atau subkutan) dapat dengan cara khusus, yaitu:
1. suntikan intrathecal lewat pungsi lumbal
2. suntikan intrapleura untuk melekatkan pleura viceralis dan pleura parietalis
3. suntikan intra arteri seperti intra arteri hepatis
4. suntikan intra peritoneal seperti peritoneal dialisis untuk pengobatan cairan asites yang
maligna
5. kemoterapi sebagai radiosensitizer è kemoterapi disuntik segera sebelum atau tepat
bersamaan waktu penyinaran.
- Peroral contohnya Altretamine, ATRA, Busulfan, 6-Thioguanin, treosulfan, calsiumfolinate,
capecitabine, trofosfamid, chlorambucil, siklofosfamide/iv, dll.Procarbazin, mercaptopurine,
MTx/ iv,im,ith
- Intra thecal: Cytarabine/iv,im, sc;mtx.
- Intra pleura: Bleomicin.
- Intraarteri: Bleomicin, cisplatin, dactinomycin, dexorubicin, 5fu, etoposide, melphalan,
mitomysin, nimustine, dll
- Intraperitoneal : carboplatin, cisplatin, 5 fu (u/acites), mitotraxone.
- Intra hepatika : mitoxantone
Kontra Indikasi Kemoterapi
A. Kontra indkasi absolut:
- pada stadium terminal
- Kehamilan trimester pertama
- Kondisi septikemia dan koma.
B. Kontra indikasi relatif :
- Bayi <>8g/dl, leukosit > 3000/mm3
Pedoman penyesuaian dosis obat sitostatika:
jml leukosit jml plateled dosis
>4000 >10000000 100%
3500-4000 > 75000-100000 75%
3000-3500 50.000-75.000 50%
<3000 <50.000 0%
2. BMP : Pada kasus dengan kelainan darah perifer è untuk penetapan diagnosa dan stadium.
3. Fungsi liver, Ureum, kreatinin, kreatin klears asam urat, LDH
D. Pemeriksaan radiologis:
-Foto Thoraks
-Bone survei ( mis: pada mieloma atau kanker payudara)
-Bone scan
-CT Scan, Limfangiografi,MRI.
Senin, 19 Mei 2008
Minggu, 18 Mei 2008
Evidence Based Medicine pada aspek diagnosis
Diagnosa dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang menggunakan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan penunjang serta tes lain untuk mengidentifikasi penyakit pada pasien.
Ada beberapa cara yang digunakan oleh seorang dokter dalam mendiagnosis pasien:
Algorithmic: cara diagnosis ini layak untuk suatu penyakit tertentu. Sebagai contoh,suatu pendekatan dengan algorithmic, sangat berguna untuk suatu keadaan dimana informasi pasien (misalnya hasil laboratorium) adalah akurat seperti anemia atau penyakit lever
Pattern recognition: cara ini biasanya digunakan oleh seorang dokter pada pengamatan pertama, untuk mendiagnosa kondisi umum pasien seperti radang saluran kencing ataupun sinusitis.
Exhaustive: cara diagnosis ini digunakan untuk penyakit yang telah gagal didiagnosis dengan cara lain. Hal ini biasanya dilakukan pada rumah sakit rujukan yang menerima pasien rujukan, yang belum ditentukan diagnosisnya. Karena itu dikumpulkan semua data yang memungkinkan dari pasien tersebut tersebut untuk membuat diagnosis.
Hypotheticodeductive: cara mendiagnosis jenis ini yaitu dengan membuat diferensial diagnosis, melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara terus menerus dan hasilnya digunakan untuk memperbaiki perbedaan diagnosis dan demikian seterusnya, sehingga diperoleh diagnosis akhir.
Untuk setiap cara mendiagnosis diatas, yang penting adalah menggunakan
informasi yang akurat yang dikumpulkan dari pasien. Hal ini berarti harus mencari sebanyak-banyaknya gejala, tanda-tanda, atau hasil-hasil tes yang dikumpulkan dari pasien tersebut. Ini dimaksudkan untuk mencari atau menentukan kemungkinan terdapatnya penyakit pada pasien tersebut (likelihood of a given disease). Proses inilah yang disebut dengan revising the probability of disease.
Menilai Relevansi dan Validitas Makalah Diagnosis
Sebagai contoh, scaning memberikan informasi yang akurat tentang penyakit dari organ-organ tubuh manusia, tetapi tidak praktis untuk dipakai pada komunitas. Biopsi otak juga akurat untuk mendiagnosis enchepalitis, tetapi tidak praktis bila diterapkan pada pasien kita karena memilikki resiko yang tinggi. Jadi tes diagnosis merupakan suatu tes yang feasible untuk diterapkan pada pasien kita.
Bila tes diagnosis diterapkan pada pasien dengan sakit yang berat dan pasien sehat, maka hal ini akan membuat penampilan tes diagnosis tersebut jauh lebih baik dari yang sebenarnya. Oleh karena itu pada penelitian tentang tes diagnosis, tes diagnosis tersebut harus dikerjakan pada pasien yang memilikki spektrum gejala dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Dalam penelitian tersebut juga dimasukkan pasien-pasien yang memilikki gejala yang mirip (similar manifestation).
Sebagai contoh pada diagnosis infark miokard, harus juga dimasukkan pasien yang memilikki gejala seperti spasme kerongkongan, nyeri karena penyakit kandung empedu dan sebagainya.
Apakah penulis menggunakan standar referensi yang masuk akal ? Contoh lain, misalnya pada penelitian diagnosis faringitis yang disebabkan oleh kuman streptokokus, dengan menggunakan titer anti streptolisin O (titer ASO)., hal ini mungkin ideal digunakan sebagai standar referensi. Selain itu juga kultur dan biopsi yang dilakukan pada pasien yang memiliki hasil tes diagnosis negatif merupakan satu-satunya tujuan yang dianggap tidak etis karena invasif. Tes diagnosis dan tes referensi sebagai pembanding harus dikerjakan pada satu orang dan harus blind.
Diagnosis bukan suatu cara untuk mendapatkan kebenaran absolut, tetapi berfungsi membatasi ketidaktahuan, menetapkan dasar-dasar logis untuk membuat probabilitas dan memahami batasan tes terapi (treatment tresholds test).
Untuk menilai aspek diagnosis dengan menggunakan EBM dapat diikuti petunjuk sebagai berikut :
Apakah Bukti Mengenai Tes Diagnosis Ini Adalah Valid ?
Apakah dilakukan suatu pembanding yang independen dan blind dengan standar referensi diagnosis ?
Apakah tes diagnosis ini dievaluasi pada spektrum pasien yang tepat (seperti pada pasien yang biasanya kita ukur dengan tes tersebut ?
Apakah standar referensi diaplikasikan terlepas dari hasil tes diagnosis ?
Apakah tes (atau kelompok tes) divalidasi dalam kelompok pasien yang kedua yang independen ?
hasil tes diagnosis, para dokter harus mempunyai derajat kesepakatan (degree of agrement) dan dalam hal lain, kita sulit membedakan apakah sesuatu itu normal atau tidak. Dalam EBM ada 6 definisi normal seperti :
Gaussian: mean ± 2 standar deviasi- ini adalah asumsi distribusi normal dari seluruh tes
Percentile: di dalam rentang 5-95% ; mempunyai dasar yang sama dengan pengertian Gaussian
Kultur yang diinginkan: jika normal adalah yang cenderung dilakukan oleh masyarakat.
Faktor resiko: menyebabkan tidak adanya tambahan resiko penyakit, tetapi apakah faktor resiko dapat merubah resiko ?
Diagnosis: rentang suatu hasil dimana diluar rentang tersebut kelainan target yang diinginkan memiliki probabilitas yang tinggi
Terapi: rentang hasil dimana diluar rentang tersebut terapi lebih baik daripada aspek merugikan
Bila kita melakukan beberapa kali tes diagnosis pada subyek akan terjadi sesuatu hasil yang menyimpang yang membawa kepada ketidaklayakan hasil tes selanjutnya. Dalam tes diagnosis, disebut normal apabila terdapat nilai rentang suatu hasil dan hasil diluar rentang tersebut merupakan kelainan target (target disorder) mempunyai probabilitas tinggi.
Sabtu, 17 Mei 2008
Travel Disease Incidence
Incidence rate, per month, of health problems during a stay in developing countries. PCV, Peace Corps volunteer. (From Steffen R, Lobel HO: Epidemiologic basis for the practice of travel medicine. J Wilderness Med 5:56, 1994. Reprinted with permission from Chapman and Hall, New York.)
Peta Penyakit Infeksi di Dunia
Map of the world showing examples of geographic locales where infectious diseases were noted to have emerged or resurged. (Adapted from Addressing Emerging Infectious Disease Threats: A Prevention Strategy for the United States, Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention, 1994.)
Jumat, 16 Mei 2008
Deep Venous Thrombosis
Essentials of Diagnosis :
Pain in the calf or thigh, occasionally associated with swelling; alternatively, there may be no symptoms.
Risk factors: Recent travel; orthopedic injury; recent abdominal, pelvic, or lower extremity surgery; neoplasia (known or occult); oral contraceptive use; prolonged inactivity.
Physical signs unreliable.
Duplex ultrasound is diagnostic
Sumber:
1. Tierney et al. Current Medical Diagnosis & Treatment 2008. Mc Graw Hill-LANGE
2. Afzal. Atlast of Clinical Diagnosis. Second Edition. Saunders - 2003
Crohn's disease lips
Batasan :
Penyakit Crohn (CD) : inflamasi transmural idiopatik pada saluran pencernaan.
Epidemiologi :
Bimodus dengan puncak pada usia 20 dan 50-70 tahun;
Patologi:
Luasnya penyakit dapat mengenai bagian manapun dari saluran cerna, dari mulut hingga anus, skip lesions 30% pasien mengalami ileitis, 40% ileokolitis, dan 30% kolitis.
Sumber :
1. Afzal. Atlas of clinical diagnosis. econd Edition. Saunders 2003
2. Harrison's. IBD. In Principles of Internal Medicine, 17th Edition.2008
Palmar erythema
Dijumpai pada penderita hyperthyroidism dan chronic liver disease
Batasan :
"Palmar erythema is a bright-red cutaneous vasodilatation seen mainly over the thenar and
hypothenar eminences"
Printed from STUDENT CONSULT: Macleod's Clinical Examination 11E with availabel :
http://studentconsult.com/content/printpage.cfm?ID=HC002001
Pankreatitis Akut (Kriteria Ranson)
A. Pada saat masuk rumah sakit:
1. Usia > 55 tahun
2. Leukositosis > 16.000/ml
3. Hiperglikemia > 11 mmol/L (>200 mg%)
4. LDH serum > 400 IU/L
5. AST (SGOT) serum > 250 IU/L
B. Selama 48 jam perawatan:
1. Penurunan hematokrit > 100%
2. Sekuestrasi cairan > 4000 ml
3. Hipokalsemia < 1,9 mmol/L (<8,0 mg%)
4. PO2 arteri < 60 mmHg
5. BUN meningkat > 1,8 mmol/L (> 5 mg%) setelah pemberian cairan iv
6. Hipoalbuminemia < 3,2 g%
Interpretasi klinik Kriteria ranson:
Kriteria awal menggambarkan beratnya proses inflamasi,sedangkan kriteria akhir waktu 48 jam menggambarkan efek sistemik aktifitas enzim terhadap organ target,seperti paru dan ginjal.
Bila score <> 6, mortalitas > 50% biasanya sesuai dengan pankreatitis nekrotikan.
Indikator penting yang harus diperhatikan:
1. Hipotensi (<90> 130 x/mnt
2. PO2 < 60 mmHg
3. Oliguria (< 50 ml/jam) atau BUN, kreatinin yang meningkat
4. Metabolik / Ca serum < 8,0 mg% atau albumin serum < 3,2 g%
Bronkhoskopi
1. Diagnostik :
a. Karsinoma bronkhus
b. Penyakit paru interstitial, misalnya sarkoidosis
c. Perselubungan yang menetap pada foto rontgen, misalnya pneumonia persisten
d. Gejala saluran pernafasan yang tidak dapat dijelaskan seperti hemoptisis dan wheezing
e. Mendapatkan sputum untuk pemeriksaan lebih lanjut
2. Terapi:
a. Menghentikan perdarahan dengan bilasan es/adrenalin
b. Pembilasan bronkhus (bronkhoalveolar lavage) pada retensi sputum, atelektasis,mucus
plug, bekuan darah
c. Obstruksi bronkhus pada karsinoma--> pengobatan dengan laser
Kontraindikasi :
1. Gagal jantung
2. Gagal nafas
3. FEV1 < 1,0 liter
4. Angina yang tidak stabil
5. Recent MCI
Persiapan
1. Pasien puasa minimal 6 jam
2. Foto thoraks PA dan Lateral
3. Cek masa pembekuan dan perdarahan
4. Izin tindakan dan inform consent
5. Alat dan obat :
a. Lidonest 2% 50 cc
b. Disposabel spuit 20 cc 3 buah
c. Disposabel spuit 2,5 cc 2 buah
d. Sulfas Atropin 0,25 mg 1-2 amp
e. Mucous collector 2 buah
f. Valium inj 1 amp (bila perlu)
Pungsi Cairan Pleura
1. Terapeutik : mengurangi sesak nafas
2. Diagnostik : pemeriksaan sitologi, kultur mikroorganisme (resistensi dan sensitifitas) thd BTA,jamur dan parasit
Kontraindikasi
1. Gagal jantung (yang belum diatasi)
2. Keadaan yang tidak dapat mentolerir komplikasi pneumotoraks
3. Keadaan umum sangat lemah sehingga tidak dapat duduk/setengah duduk
4. Jumlah cairan terlalu sedikit
5. Gangguan hemostasis yang belum diatasi
6. Pasien dengan positive pressure ventilation karena resiko fistel bronkhopleura dan tension pneumothoraks
Persiapan
1. Izin tindakan dan inform consent
2. Foto Thoraks PA
3. Foto thoraks lateral dekubitus (jika masih meragukan)
4. Masa perdarahan dan masa pembekuan
5. Alat dan obat:
a. Lidokain 2-4 amp
b. Disposabel spuit 2,5 cc 2 buah
c. Disposabel spuit 50 cc 1 buah
d. Three way 1 buah
e. Abocath no. 14 atau 16 1 buah
f. Blood set 1 buah
g. Bag penampung
Water Sealed Drainage (WSD)
1. Pneumothoraks
2. Hemothoraks
3. Empyema thoraks
4. Efusi pleura maligna
5. Prosedur setelah operasi intra thoraks
Kontraindikasi
1. Tidak ada kontraindikasi absolut
2. Bila ada gangguan hemostase/trombositopenia, sebaiknya diatasi terlebih dahulu
Komplikasi
1. Empyema thoraks
2. Laserasi paru
3. Perforasi diafragma
4. Luka mengenai lambung,hati dan limpa
5. Udema paru
Persiapan
1. Izin tindakan dan inform consent
2. Masa perdarahan dan masa pembekuan
3. Foto thoraks PA supine
4. Alat dan obat :
a. Trocar,kanula dan kateter
b. Botol WSD
c. Scalpel dan gunting
d. Larutan antiseptik dalam botol
e. Kassa steril dan plester
f. Lidokain 2% ; 3-4 ampul
g. Disposabel spuit 5 cc dan 10 cc, maing-masing 1 buah
h. Jarum no 22 dan 25
Pemeriksaan Faal Paru Prabedah
a. Resiko ringan bila ; VC > 60% dan FEV1 > 60%
b. Resiko sedang bila : VC > 30% dan FEV1 > 30%
c. Resiko tinggi bila ; VC < 30% dan FEV1 < 30%
B. Pembedahan abdomen bagian bawah :
a. Resiko ringan bila; VC > 60% dan FEV1 > 60%
b. Resiko sedang bila; VC > 35% dan FEV1 > 60%
c. Resiko tinggi bila: VC < 35% dan FEV1 < 60%
C. Pembedahan abdomen bagian atas:
a. Resiko ringan bila: VC > 60% dan FEV1 > 60%
b. Resiko sedang bila : VC > 40% dan FEV1 > 60%
c. Resiko tinggi bila : VC < 40% dan FEV1 < 60%
Menurut Lockwood, resiko tinggi bila :
a. VC < 1,85 liter
b. FEV1 < 1,2 liter atau VEF1 < 35%
c. MVV <> MVV = Maximal Voluntary Ventilation
Rumus Klinik Bagian Dua
1. MCV = Ht/eritrosit x 10 (N:83-92)
2. MCH = Hb/eritrosit x 10 (N:27-31)
3. MCHC = Hbx100/Ht (N: 32-36)
4. SI: Wanita : 37-145
Laki-laki: 59-158
5. TIBC: Wanita: 150-250
Laki-laki: 200-300
6. HbA2 Normal < 35 ; HbF Normal < 1
Koreksi Retikulosit
Tahap I :
o/oo Rt aktual = o/oo Rt pasien x (Ht pasien/Ht normal)
Normal = 5 - 15 (o/oo) --> Ht normal wanita 42 dan laki-laki 38
Tahap II:
Indeks Retikulosit :
o/oo Rt aktual x [ (Ht pasien/Ht normal) x (1/masa pematangan Ht) ]
Ht --> Masa pematangan Ht
45 --> 1
35 --> 1,5
25 --> 2
15 --> 2,5
Sepsis dan Renjatan Sepsis
PENGERTIAN
Sepsis merupakan sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS) yang disebabkan oleh infeksi
Renjatan (syol) septik : sepsis dengan hipotensi, ditandai dengan penurunan TDS <90>40 mmHg dari TD awal, tanpa adanya obat-obatan yang dapat menurunkan TD
Sepsis berat : gangguan fungsi organ atau kegagalan fungsi organ termasuk penurunan
kesadaran, gangguan fungsi hati, ginjal, paru-paru, dan asidosis metabolik
DIAGNOSIS SEPSIS
SIRS ditandai dengan 2 gejala atau lebih berikut :
Suhu badan >38oC atau 36 oC
Frekuensi denyut jantung >90x/menit
Frekuensi pernafasan >24x/menit atau PaCO2 <32
Hitung leukosit >12.000/mm3 atau <4.000/mm3,>10% sel batang
Ada fokus infeksi yang bermakna
DIAGNOSIS BANDING
Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, gula darah, AGD, elektrolit,kultur darah dan infeksi fokal (urin, pus, sputum, dll) disertai uji kepekaan mikroorganisme terhadap anti mikroba, foto toraks
TERAPI
· Eradikasi fokus infeksi
· Antimikroba empirik diberikan sesuai dengan tempat infeksi, dugaan kuman penyebab, profil antimikroba (farmakokinetik dan farmakodinamik), keadaan fungsi ginjal dan fungsi hati antimikroba definitif diberikan bila hasil kultur mikroorganisme telah diketahui, antimikroba dapat diberikan sesuai hasil uji kepekaan mikroorganisme
· Suportif : resusitasi ABC, oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi (sesuai indikasi) pada renjatan septik diperlukan untuk mendapatkan respons secepatnya
Resusitasi cairan. Hipovolemia pada sepsis segera diatasi dengan pemberian cairan kristaloid atau koloid. Volume cairan yang diberikan mengacu pada respons klinis (respons terlihat dari peningkatan tekanan darah, penurunan frekuensi jantung,kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan perbaikan
kesadaran) dan perlu diperhatikan ada tidaknya tanda kelebihan cairan (peningkatan tekanan vena jugularis, ronki, galop S3, san penurunan saturasi oksigen). Sebaiknya dievaluasi dengan CVP (dipertahankan 8-12 mmHG), dengan mempertimbangkan kebutuhan kalori perhari. Oksigenasi sesuian kebutuhan. Ventilator diindikasikan pada hipoksemia yang progresif, hiperkapnia, gangguan neurologis, atau kegagalan otot pernafasan
Bila hidrasi cukup tetapi pasien tetap hipotensi, diberikan vasoaktif untuk mancapai tekanan darah sistolik >90 mmHg atau MAP 60 mmHg dan urin dipertahankan >30 ml/jam. Dapat digunakan vasopresor seperti dopamin dengan dosis >8 g/kgBB/menit, neropinefin 0,03-1,5 g/kgBB/menit, fenilefrin 0,5-8 g/kgBB/menit, atau epinefrin 0,1-0,5 g/kgBB/menit. Bila terdapat disfungsi miokard, dapat digunakan inotropik seperti dobutamin dengan dosis 2-28 g/kgBB/menit, dopamin 3-8 mcg/kgBB/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kgBB/menit, atau fosfodiesterase inhibitor (amrinon dan milrinon).
Tranfusi komponen darah sesuai indikasi
Koreksi gangguan metabolik : elektrolit, gula darah, dan asidosis metabolik (secara
empiris dapat diberikan bila pH<7,2, atau bikarbonat serum <9 mEg/l, dengan disertai upaya perbaikan hemodinamik)
Nutrisi yang adekuat
Terapi suportif terhadap gangguan fungsi ginjal
Kortikosteroid bila ada kecurigaan insufisiensi adrenal
Bila terdapat KID dan didapatkan bukti terjadinya tromboemboli, dapat diberikan heparin dengan dosis 100 IU/kgBB bolus, dilanjutkan 15-25 IU/kgBB/jam dengan infus kontinu, dosis lanjutan disesuaikan untuk mencapai target aPTT 1,5-2 kali kontrol atau antikoagulan lainnya
KOMPLIKASI
Gagal nafas, gagal gianjal, gagal hati, KID, renjatan septik ireversibel
PROGNOSIS
Dubia ad malam
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI
· RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam – Divisi Tropik Infeksi
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
RS pendidikan : Divisi pulmonologi, ginjal-hipertensi, hematologi-onkologi, dan medical
high care / ICU
RS non pendidikan : ICU
Anonim. Tropik Infeksi. Dalam Panduan Pelayanan Medik. PB PAPDI. Editor Aziz Rani,
Sidartawan Sugondo, Anna Uyainah Z. Nasir, Ika Prasetya Wijaya, Nafrialdi, Arif
Mansjoer. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI Tahun 2006, hal
137-153
Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi
DIAGNOSIS
· Anamnesis : demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam
menetap (kontinyu) atau remiten pada minggu kedua. Demam terutama sore / malam
hari, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare.
· Pemeriksaan Fisis : febris, kesadaran berkabut, bradikardia relatif (peningkatan suhu
1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah, serta tremor), hepatomegali,splenomegali, nyeri
abdomen, roseolae (jarang pada orang Indonesia).
· Laboratorium : dapat ditemukan lekopeni, lekositosis, atau lekosit normal,
aneosinofilia, limfopenia, peningkatan Led, anemia ringan, trombositopenia,
gangguan fungsi hati. Kultur darah (biakan empedu) positif atau peningkatan titer uji
Widal >4 kali lipat setelah satu minggu memastikan diagnosis. Kultur darah negatif
tidak menyingkirkan diagnosis. Uji Widal tunggal dengan titerantibodi O 1/320 atau
H 1/640 disertai gambaran klinis khas menyokong diagnosis.
Hepatitis Tifosa
Bila memenuhi 3 atau lebih kriteria Khosla (1990) : hepatomegali, ikterik, kelainan
laboratorium (antara lain : bilirubin >30,6 umol/l, peningkatan SGOT/SGPT, penurunan
indeks PT), kelainan histopatologi.
Tifoid Karier
Ditemukannya kuman Salmonella typhi dalam biakan feses atau urin pada seseorang
tanpa tanda klinis infeksi atau pada seseornag setelah 1 tahun pasca-demam tifoid.
DIAGNOSIS BANDING
Infeksi virus, malaria
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah parifer lengkap, tes fungsi hati, serologi, kultur darah (biakan empedu)
TERAPI
Nonfarmakologis : tirah baring, makanan lunak randah serat
Farmakologis :
Simtomatis
Antimikroba :
Pilihan utama : Kloramfenikol 4 x 500mg sampai dengan 7 hari bebas demam.
Alternatof lain :
Tiamfenikol 4 x 500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah dibandingkan
kloramfenikol)
Kotrimoksazol 2 x 2 tablet selama 2 minggu
Ampisilin dan amoksisilin 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu
Sepalosporin generasi III ; yang terbukti efektif adalah seftriakson 3-4 gram
dalam dekstrosa 100 cc selama ½ jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari.
Dapat pula diberikan sefotaksim 2-3 x 1 gram, sefoperazon2 x 1 gram
Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III atau menjelang hari IV) :
Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
Pada kasus toksik tifoid (demam tifoid disertai gangguan kesdaran dengan atau tanpa
kelainan neurologis lainnya dan hasil pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal
langsung diberika kombinasi kloramfenikol 4 x 500 mg dengan ampisilin 4 x 1 gram dan
deksametason 3 x 5 mg.
Kombinasi antibiotika hanya diindikasikan pada toksik tifoid, peritonitis atau perforasi,
renjatan septik.
Steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami
renjatan septik dengan dosis 3 x 5 mg
Kasus tifoid karier
Tanpa kolelitiasis pilihan rejimen terapi selama 3 bulan :
- Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + Probenesid 30 mg/kgBB/hari
- Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari + Probenesid 30 mg/kgBB/hari
- Kotrimoksazol 2 x 2 tablet/hari
Dengan kolelitiasis kolesistektomi + regimen tersebut di atas selama 28 hari atau
kolesistektomi + salah satu rejimen berikut :
- Siprofloksasin 2 x 750 mg/hari
- Norfloksasin 2 x 400 mg/hari
Dengan infeksi Schistosoma haematobium pada taksus urinarius eradiksi
Schistosoma haematobium :
Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal, atau
Metrifonat 7,5-10 mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis, interval 2 minggu
Setelah eradiksi berhasil, diberikan rejimen terapi untuk tifoid karier sepertidi atas
Perhatin : Pada kehamilan fluorokuinolon dan kotrimaksazol tidak boleh digunakan.
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester III. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada
trimester I. Obat yang dianjurkan golongan beta laktam : ampisilin, amoksisilin, dan
sefalosporin generasi III (sefriakson)
KOMPLIKASI
Intestinal : perdarahan intestinal, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis.
Ekstra-intestinal : kardiovaskular (kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, trombosis,
tromboflebitis), hematologik (anemia hemolitik, trombositopenia, KID), paru
(pneumonia, empiema, pleuritis), hepatobilier (hepatitis, kolesistitis), ginjal
(glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis), tulang (osteomielitis, periostitis, spondilitis,
artritis), neuropsikiatrik (toksik tifoid)
PROGNOSIS
Baik. Bila penyakit berat, pengobatan terlambat/tidak adekuat atau ada komplikasi berat,
prognosis meragukan/buruk
WEWENANG
· RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam
· RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT
· RS pendidikan : Departemen Bedah digestif
· RS non pendidikan : Departemen Bedah
Sumber
Anonim. Tropik Infeksi. Dalam Panduan Pelayanan Medik. PB PAPDI. Editor Aziz Rani,
Sidartawan Sugondo, Anna Uyainah Z. Nasir, Ika Prasetya Wijaya, Nafrialdi, Arif
Mansjoer. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI Tahun 2006, hal
137-153